Originaly by Djenar Maesa Ayu & Arya Yudistira Syuman, 1 Perempuan 14 Laki-Laki
“Seperti yang kumau, seperti matahari yang terbit ditunggu setelah malam berlalu, kepada hari yang baru.” Begitu katanya, pada saat sinar matahari yang dimaksudnya menyeruak masuk melalui sela-sela jendelayang sedikit terbuka. Jatuh tepat diatas bibirnya yang bergerak. Yang saya tahu sebelumnya baru saja bergetar saat menerima kecupan. Pelan. Seakan tak ingin ia lepaskan. Saya pun segera tahu jika apa yang pernah dikatakannya pada saya bukan bualan. Bahwa saya tidak seperti lelaki lain yang hanya datang dan pergi. Lelaki yang menurutnya tidak layak dinanti. “Ya, kamu seperti matahari yag aku selalu tunggu tiap pagi.” Katanya lagi.
Namun tak dapat saya pungkiri kalau saya sering ragu. Jangan-jangan kalimat itu dikatakan kepada matahari-mataharinya, pagi-paginya, laki-lakinya yang lain juga. Ya, saya takut dan ragu, selalu begitu dan mungkin akan seterusnya begitu. Tetapi terus saja ada desakan ingin memiliki. Walaupun teman-teman sudah sering memperingati, “Hati-hati, kau akan membayarnya nanti.” Ya, saya tak ingin dibohongi dengan janji-janji. Lebih baik sendiri bila seperti itu lagi. Saya ingin hidup, seperti air mengalir.
Tiba-tiba telepon bordering memecah hening. Saya tahu apa yang akan ditanyakannya. Dan saya tidak ingin mendengarnya karena tahu tidak dapat memberikan apa yang diinginkannya. Untuk terus bersama. Untuk terus berpelukan didalam selimut menikmati sinar matahari yang menyeruak masuk dari sela-sela jendela dan jatuh diatas bibirnya. Untuk mengulang segala gerakan yang akan membuat bibir itu mengeluarkan desahan dan bergetar. Untuk sama-sama melenguh dan menggelepar. Tapi saya tidak bisa. Uang yang saya miliki hanya cukup untuk bersamanya tiga jam saja.
Tiba-tiba saya berharap ia mengajak saya ke tempat tinggalnya atau bertemu di café-café untuk sekedar ngobrol dengannya disana. Saling bertatapan mata. Saling bergengggaman tangan dan saling bertukar kecupan. Bukan seperti ini. Saya tak peduli bila orang tahu apa pekerjaannya. Dan bila saya bertemu dengan orang-orang yang mengenal saya, saya pun tak peduli. Ini hidup saya. Saya yang membuat keputusan akan apa yang saya mau. Tidak ada urusan dengan orang-orang lain.
“Matahariku, kamu tidak akan memperpanjang jam booking kan? Kamu harus pulang. Dan kamu harus kembali. Karena aku menunggumu.” Kalimat itu baga suara sayap burung merpati yang mengepak beterbangan seisi kamar. Hinggap dimatanya yang penuh harap. Berpindah ke onggokkan baju-baju kami yang saling berpelukan dia atas lantai. Ke jok bangku. Ke gordin berwarna sendu. Ke masa lalu. Dimana seseorang pernah mengatakan kalimat persis seperti itu.
Pastikah ini? Saya diliputi kebingungan. Tentangnya dan saya sendiri. Sesaat hasrat mendominasi. Tetapi pikiran dan kenangan berkata lain. Apakah saya telah menemukan seorang pengganti? Tunggu, tunggu, saya ragu. Kamu, wajahmu yang dipagi ini mengatakan rindu. Yang tubuhnya mengatakan apa yang saya mau. Apakah ini hanya cerita yang sama ditempat yang berbeda? Apakah saya sudah belajar dari pengalaman yang lalu? Berikan saya waktu.
“Matahariku,” panggilnya sambil menyodorkan baju. Ternyata ia pun sudah berbaju. Baju yang berbelahan dada rendah dan menunjukan belahan payudaranya. Baju yang memperlihatkan betapa ramping pinggangnya dan jenjang kakinya. Pemandangan yang dapat dimiliki oleh setiap mata yang melihatnya. Dan di dalamnya,adalah tubuh yang dapat dinikmati oleh siapa pun yang mampu membayarnya. Yang bukan milik saya.
“Matahari?!” panggilnya sekali lagi. Kali ini lebih tegas dari sebelumnya. Namun tetap ada kelembutan disana. Saya pun meraih baju dari tangannya dan segera mengenakannya, bersamaan dengan bunyi telepon bordering untuk kedua kalinya. Saya tahu suara diseberang sana adalah suara yang akan memisahkan kami. Saya tahu, suara diseberang sana adalah suara yang akan mengantarkan ia ke pelukan lain lelaki. Lai-laki yang mungkin bisa membayarnya lebih dari tiga jam untuk mengukur dan mengukir lekuk tubuhnya dengan lidah dan jemari. Pengetahuaan ini membuat denyut jantung saya berdetak lebih keras dari sebelumnya. Rasa ragu saya perlahan hangus dibakar cemburu. Rasa yang sama dengan yang pernah saya rasakan dengan seseorang dulu.
Tiba-tiba saya berpikir, kenapa tidak mencobanya saja? Bukankah hidup itu juga harus mengambil resiko? Kenapa harus berpikir terlalu panjang? Apakah saya hanya takut sakit hati lagi saja, atau?
Kenapa harus ada kepastian-kepastian? Saya tahu banyak yang tidak pasti dalam hidup ini. Jadi mungkin saya hanya harus mengubah cara berpikir saya, ya, seperti air mengalir, lihat saja apa yang akan terjadi. Bila tidak seperti yang diharapkan, maka saya menyikapinya dengan cara yang berbeda, atau?
Jangan-jangan tidak ada atau? Jangan-jangan saya memang tidak punya pilihan. Jangan-jangan ia lah sang putri dari kayangan yang telah ditunjuk untuk bertemu sang pangeran. Tapi apakah saya yang layak untuk jadi pangeran? Saya yang tidak terlalu punya banyak uang. Saya yang sering kali rela berhutang. Demi menepati janji saya untuk kembali padanya. Demi kembali menjadi matahari yang katanya selalu ditunggunya.
Sekarang suara telepon telah berganti dengan sura ketukan pintu. Di balik pintu itu, sudah ada yang menunggu.
“Matahari, kamu harus pergi,” katanya lagi. Bukan hanya tegas. Tapi juga diikuti dengan langkahnya menuju pintuyang setengah bergegas. Seketika harapan saya sirna. Pesimis. Saya sering begitu. Dan saya tidak tahu kemana harus mengadu.
Pintu terbuka. Kamar yang semula hanya diliputi seonggok sinar matahari dari sela-sela tirai jendela, kini sesak dengan warna-warni lampu disko dari luar sana. Juga dengan suara lagu maupun manusia yang gaduh. Selalu seperti itulah suasana tempat yang tak mengenal waktu. Pagi, siang, sore, maupun malam, juga hari minggu, senin,hingga sabtu. Akan selalu ada cahaya lampu berpendaran menyisir lantai dansa maupun kursi dan meja-meja. Suara-suara lelaki maupun perempuan yang sama-sama saling menggoda. Suara yang mabuk. Suasana yang akan segera berubah jika merekasudah berpindah kebilik-bilik kamar yang tertutup.
Saya pun melangkah keluar menuju suara dan warna-warni lampu. Mengecup untuk yang terakhir kalinyapun saya tidak mampu karena sudah ada laki-laki lain berdiri di depan pintu menunggu. Seperti air mengalir, sekarang saya hanya akan membawa diri kemana langkah kaki ini akan membawanya. Walaupun saya tahu, ia pasti akan selalu derada didalam kepala kemanapun saya akan pergi dan dimana pun saya akan berada. Dan orang-orang lain akan segera memulai aktivitasnya, menyabut pagi hari dengan gembira. Tidak seperti saya yang mati. Tidak seperti matahari yang dikatakannya tentang saya barusan tadi. Tidak, saya adalah orang yang dirundung malang pagi ini. Terjajah oleh harapan yang tidak pasti.
Seperti air, kaki saya mengalir. Menyusur koridor yang mengahadap tepat ke lantai dansa dibawahnya. Melewati beberapa orang berhati murung namun tertawa.terus menyusur anak tangga hingga benar-benar langkah terakhir sampai lantai dansa. Di sana, beberapa pasang manusia sedang meliuk-liukkan tubuhnya. Ada yang saling erat berpelukan. Ada juga yang sedang berciuman. Saya tidak terlalu ingin memperhatikan. Saya hanya mengalir dengan tatapan wajah sedikit merunduk. Hingga tiba-tiba kepada sepasang kaki jenjang kedua mata saya bertumbuk. Kaki dengan jari beperwarna merah darah. Ada tato dibetisnya bergambar bunga matahari yang tengah merekah. Wajah saya tanpa terasa menengadah.
“Mau dansa?” kata bibir bergincu merah darah persis seperti pemerah kuku di jari kakinya.
“Saya tidak bisa dansa,” jawab saya sambil tetap terpana melihat indah bibirnya.
“Mau ditemani?”
“Saya tidak punya uang. Saya harus pulang.”
Ia tertawa, menunjukan gigi-geliginya yang berbaris rapi seperti sabit rembulan.
“Kamu sedang berutung. Hari sudah pagi. Saya Cuma ingin bersenang-senang.”
Saya diam. Tidak tahu apa yang ia maksudkan. Bukankah perempuan-perempuan seperti ia ada disini untuk mencari pelanggan dan harus dibayar?
“Hari ini ulang tahun saya. Saya ingin memberi hadian bagi diri saya sendiri,” katanya seraya mengulurkan tangan lalu membimbing saya kembali keatas. Kembali menyusuri anak tangga. Menyusuri koridor yang tepat menghadap lantai dansa di bawahnya. Dan tanpa saya sadari, saya telah menyusuri lekuk tubuhnya. Tak ada sedikitpun gerakan yang ingin saya tunda. Dan saya tertawa. Saya pun seketika tersadar kalau sudah lama sekali saya tidak tertawa.